Rabu, 07 April 2010

Luthfi Assyaukanie Menyakiti Umat Islam

altKesaksian Koordinator JIL dalam sidang Uji Materi UU Penodaan Agama Malah Menodai Islam dan Melukai Umat Islam


Bukan JIL (Jaringan Islam Liberal) namanya, jika mereka tidak melukai hati umat dengan pernyataan-pernyataan kontroversialnya. Jika kita merunut jejak rekam perjalanan tokoh-tokoh liberal, maka akan kita dapati segudang penyataan-pernyataan mereka yang kontroversial, nyleneh, menyimpang dari pakem dan tentu saja bagi umat Islam sangat menyakitkan.

Seperti yang dikemukakan oleh Luthfi Assyaukanie dalam sidang Uji Materi UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Rabu (17/2) yang lalu. Bertindak sebagai saksi ahli dari kuasa hukum pemohon, tanpa merasa berdosa koordinator JIL ini mensejajarkan Nabi Muhammad Saw dengan nabi palsu Lia Aminudin (Lia Eden). Ia menyatakan bahwa kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Nabi Muhammad di awal kemunculan Islam.

“Ketika agama Kristen muncul di Palestina pada paruh pertama abad pertama masehi, orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai aliran sesat. Ketika Islam muncul di Saudi Arabia pada abad ke VI Masehi, Gereja Timur atau biasa disebut Gereja Arab mengeluarkan dekrit bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad itu sebagai sekte sesat. Pola muncul dan berkembangnya agama hampir selalu sama. Setiap pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang terjadi pada Bilal bin Robah sang muadzin dan keluarga Amar bin Yasir. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku sebagai nabi dan mengakui sebagai Jibril. Orang menganggapnya telah gila dan sebagian mendesak pemerintah untuk menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya,” ungkap Deputi Direktur Freedom Institute ini.

Kontan saja, pernyataan menyakitkan ini menuai protes dan kecaman. Anggota Tim Majelis Ulama Indonesia (MUI) H.M Luthfie Hakim adalah orang pertama yang angkat bicara dalam persidangan tersebut. Advokat senior ini bahkan meragukan kelayakan dan keislaman Luthfi Syaukhani sebagai saksi ahli.

”Dari statement itu tadi saya meragukan, apakah ahli ini masih layak bersumpah dengan agama Islam ataukah tidak?”, ungkap Luthfie.

Pasalnya, pernyataan Luthfi Assyaukanie yang menyamakan antara Nabi Muhammad dengan Lia Eden menurut Luthfie Hakim merupakan simplifikasi yang sangat parah.

”Menyamakan tingkah laku Lia Aminudin dengan Nabi Muhammad menurut saya merupakan perbuatan yang sangat ceroboh, mengurangi kadar inteletualitas kita yang ada di sini, dan menodai perasaan keberagamaan kita”, jelasnya.

Perwakilan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Abdul Rahman Tardjo mengungkapkan hal senada. Malah Tardjo mengingatkan agar dosen Universitas Paramadina itu tidak memancing amarah umat Islam.

”Kalau anda samakan kasusnya Lia Aminudin atau Lia Eden itu sama dengan Rasulullah, anda sudah melempar api dan ini bermasalah. Sekali lagi ini bermasalah. Saya katakan Lia Aminudin itu orang gendeng (gila, red)”, tandasnya.

Karena itu Tardjo meminta agar Luthfi Assyaukanie mencabut pernyataannya supaya tidak ada amarah lagi bagi umat Islam.

Di sesi tanya jawab, Luthfi pun menyatakan permohonan maafnya atas analogi ekstrim yang menyakitkan itu.


Buta Hukum dan Sekuler

Jika diperhatikan dengan seksama, kesaksian Luthfi Assyaukanie dalam persidangan MK rabu sore itu menunjukkan ketidaktahuannya dalam persoalan hukum dan pendapat-pendapatnya didasarkan atas cara berfikir yang sekuleristik.

Wajar jika akhirnya bukan hanya pihat terkait yang memberondong Luthfi dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, para hakim anggota pun melancarkan ’serangan’ yang bertubi-tubi kepada penyunting buku Wajah Liberal Islam di Indonesia itu. Tercatat hakim Achmad Shodiki, Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Arsyad Sanusi dan Muhammad Alim memberikan catatan kritis dan pertanyaan tajam pada Assyaukanie.

Dalam kesaksiannya, selain memasuki ranah agama dan filsafat, dalam Assyaukanie juga memasuki ranah hukum, bidang yang sangat tidak ia kuasai.

Dengan bodohnya ia menilai bahwa keberadaan UU No.1/PNPS/1965 telah memunculkan sejumlah persoalan yang berdampak bagi kehidupan sosial dan politik di negeri ini. Menurutnya UU tersebut telah melukai rasa keadilan, bersifat diskriminatif, dan berpotensi memicu ketegangan di dalam masyarakat. Karena itu menurutnya aturan semacam itu selayaknya ditinjau ulang.

”Saya memandang bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 melukai rasa keadilan sebagian orang. Menangkap dan memenjarakan seseorang karena alasan orang itu menganut agama tertentu dan meyakini keyakinan tertentu yang dianggap menyimpang adalah tindakan yang keji dan bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang jelas-jelas melindungi keyakinan setiap orang”, jelasnya.

Cara berfikir sekuleristik nampak dalam penyataannya yang mengatakan bahwa persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. ”Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama”, ungkapnya.

Assyaukanie beranggapan bahwa saat ini kita hidup di zaman modern. Menurutnya negara-negara yang maju tidak lagi mengurusi soal iman seseorang.

”Jika seseorang menganut keyakinan tertentu menafsirkannya dan menyebarluaskannya sesuai dengan selera mereka, negara harus menghormati dan melindunginya. Tidak boleh ada penangkapan atas nama iman dan keyakinan seseorang”, jelasnya.

Argumen Assyaukanie ini dipatahkan oleh hakim Achmad Shodiki. Menurut Shodiki negara ini bukanlah negara sekuler. ”Kalau kita melihat ke Indonesia, sudah sejak awal negara ini memang diberi wewenang untuk ikut campur (dalam persoalan agama)”, bantahnya.

Ahli Apa?
Pendapat Assyaukanie yang serampangan itu dikritik oleh perwakilan pemerintah, Dr. Mualimin Abdi. Menurut Kasubdit Dephukham Untuk Penyiapan dan Pendampingan Sidang MK ini, sebagai seorang ahli seharusnya Luthfi Assyaukanie menggali lebih dalam apakah norma yang ada di dalam Undang-Undang 1 PNPS ’65 itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

”Jadi jangan ujug-ujug bercerita ngalor-ngidul tahu-tahu mengatakan ini diskriminatif. Kemudian tiba-tiba juga setelah cerita ngalor-ngidul lagi tiba-tiba mengatakan ini melukai rasa keadilan”, kritik Mualimin.

Atas dasar itu, menurut Mualimin, pemerintah menganggap bahwa Luthfie Assyaukanie sebagai ahli berada pada posisi yang hanya bercerita saja. ”Menurut hemat kami, tidak masuk kepada substansi apakah norma atau materi muatan di dalam Undang-Undang 1 PNPS ‘65 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak”, jelasnya.

Mualimin mengaku baru kali ini melihat seorang Ahli yang cara berfikirnya melompat-lompat. “Kami ini yang mewakili Pemerintah dengan hampir 296 perkara yang kita tangani baru kali ini melihat Ahli tiba-tiba cara berpikirnya melompat-lompat”, akunya.

Karena itu wajar jika perwakilan MUI dan DDII mempertanyakan kualifikasi Assyaukanie dalam sidang MK itu sebagai ahli dalam bidang apa. ”Saksi ini Ahli apa? Apakah tadi itu disebut Ahli Hukum, Ahli Sosiologi, atau Ahli Kunci?. Kita tidak tahu ini”, tanya Abdul Rahman Tardjo.

Menurut Luthfie Hakim, jika Assyaukanie itu ahli agama, maka penilaiannya telah masuk terlalu jauh terhadap unsur-unsur tentang pasal yang ada dalam PNPS, yang bukan merupakan wilayahnya. Artinya pendapat sang Ahli tersebut la ya mutu, alias tidak bermutu.

Ala kulli hal, itulah watak asli kelompok liberal. Berpendapat nyleneh, menodai bahkan menghancurkan Islam dari dalam demi popularitas dan sejumput dolar. [shodiq ramadhan]

Sumber : Suara Islam Online


0 komentar:

Posting Komentar